Minggu, 13 November 2011

UU SJSN adalah perintah konstitusi

Inilah satu-satunya negeri di mana pemerintah dihukum karena tidak menjalankan Undang-Undang Jaminan Sosial.

Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Nomor 40 Tahun 2004 adalah perintah konstitusi. UUD 1945 mengharuskan adanya jaminan sosial untuk seluruh rakyat, bukan hanya untuk pegawai negeri.
Menjalankan UU SJSN memerlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang benar. Untuk itu, UU SJSN dan Mahkamah Konstitusi memerintahkan empat BUMN (Asabri, Askes, Jamsostek, dan Taspen) menyesuaikan diri dengan UU SJSN paling lambat 19 Oktober 2009. Kenyataannya, pemerintah lalai menjalankan UU SJSN dan keputusan MK. Jadi DPR mengambil hak inisiatif menyusun RUU BPJS yang dijadwalkan selesai pertengahan Juli ini.

Namun, menjelang batas akhir RUU BPJS muncul berbagai upaya ”pembusukan” UU SJSN dan RUU BPJS. Pembusukan itu antara lain bahwa UU SJSN tidak prorakyat, mengalihkan tanggung jawab negara ke rakyat, BPJS akan mengambil dan menginvestasi uang peserta untuk asing, SJSN konsep neolib, SJSN disponsori asing, transformasi BPJS tidak legal, dan transformasi BPJS mengancam keuangan negara. Tidak tanggung-tanggung, pembusukan itu bahkan datang dari anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Siti Fadilah Supari, dan Menteri BUMN dalam surat tanggal 24 Juni 2011.

Hukuman bagi pemerintah
Sadar akan hak-haknya yang tidak diberikan pemerintah dan sadar akan kewajibannya untuk mengiur, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alhamdulillah, dalam karut-marut wajah sistem peradilan Indonesia, putusan PN Jakarta Pusat sangat obyektif.
PN Jakarta Pusat atas perkara Nomor 278/PDT.G/2010/PN.JKT.PST memutuskan bahwa tergugat (pemerintah: presiden, wakil presiden, Ketua DPR, dan delapan menteri terkait) telah lalai tidak menjalankan UU SJSN.

PN Jakarta Pusat juga menghukum pihak pemerintah untuk segera mengundangkan UU BPJS dengan cara menyesuaikan badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dengan UU SJSN. Keputusan tersebut datang tepat waktu ketika terjadi polemik ”pembusukan” RUU BPJS.
Berbagai tulisan dan komentar ”pembusukan” RUU BPJS yang menyesatkan datang dari pejabat negara, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan peneliti. ”Pembusukan” itu terjadi karena, pertama, banyak orang berkomentar tanpa membaca UU SJSN dan RUU BPJS beserta penjelasannya dengan teliti. Mereka ”mendengar” atau ”membaca sepotong pasal” lalu ikut rombongan ”pembusukan”.
Mereka juga tidak memahami bagaimana jaminan sosial diselenggarakan di banyak negara. Di seluruh dunia, yang disebut asuransi sosial atau jaminan sosial bersifat wajib. Gaji pekerja dipotong untuk iuran jaminan sosial. Oleh karena itu, sebuah perusahaan (PT persero) yang disusun untuk dagang (transaksi sukarela) tidak menjadi BPJS.

Konsep besar UU SJSN dan RUU BPJS mengoreksi kekeliruan ini dengan konsep BPJS sebagai badan hukum publik yang bukan perusahaan. Badan hukum publik (seperti Bank Indonesia dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) adalah milik negara, bukan milik perorangan, apalagi milik asing.
Kedua, mereka paham, tetapi punya kepentingan yang ingin dipertahankan. Mereka sengaja mengumbar informasi keliru atas nama rakyat. Dalam minggu ini dapat disimak, misalnya, komentar mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang kini anti-SJSN dan anti-BPJS.
Demikian Surat Menteri BUMN Mustafa Abubakar kepada tujuh menteri, yang ternyata juga mengandung informasi keliru. Ketika UU SJSN disusun, pengusaha, beberapa konsultan Amerika, dan juga politisi memojokkan SJSN. Itu karena kepentingan mereka terancam dengan UU SJSN dan UU BPJS.
Kini pemerintah (termasuk DPR) dihukum untuk segera menjalankan UU SJSN dan mengundangkan UU BPJS yang sejalan dengan UU SJSN. Penyusunan UU BPJS memang harus melibatkan DPR yang konsepnya dalam RUU BPJS sudah reformis. Pertanyaannya, apakah pemerintah akan menjalankan hukuman PN Jakarta Pusat? Dalam kondisi di mana banyak orang tidak patuh hukum seperti sekarang, memang banyak yang meragukan kesungguhan pemerintah.

Transformasi berhenti
Dalam pembahasan RUU BPJS, sesungguhnya Tim 8 Kementerian dan DPR sudah sepakat membentuk BPJS sebagai badan hukum publik. Namun, dalam tiga minggu terakhir Kementerian BUMN membelot. Tujuh kementerian lain sudah sepakat mentransformasi (deprivatisasi) keempat BUMN.
Kementerian BUMN, yang kini mengendalikan dana Rp 110 triliun uang pekerja swasta di PT Jamsostek tanpa ikut mengiur, memang terancam kehilangan kontrol atas sumber dana yang besar. Kontrol Kementerian BUMN atas tiga BUMN lain, yaitu Asabri, Askes, dan Taspen (dana sekitar Rp 80 triliun), mungkin masih wajar sebab ketiganya mengurus uang pegawai negeri. Namun, konsep SJSN sesungguhnya mengubah ketiga BUMN tersebut menjadi BPJS agar tidak hanya melayani pegawai negeri demi keadilan bagi seluruh rakyat. Bisa dipahami (tetapi tidak bisa ditoleransi) jika Kementerian BUMN merasa terancam. Maka, mandeklah pengundangan UU BPJS.

Menteri BUMN melakukan gerakan politik melalui pertemuan khusus dengan Wakil Presiden Boediono untuk menolak transformasi BUMN ke BPJS. Ironisnya, ternyata Wapres meng-iya-kan. Hal ini jelas merupakan tindakan otoriter yang tidak sesuai dengan demokrasi.
Penolakan transformasi hanya melindungi segelintir orang yang kini berada di Kementerian BUMN dan pegawai keempat BUMN tersebut. Penolakan transformasi akan merugikan lebih dari 100 juta rakyat, khususnya keluarga pekerja, yang kini tidak mendapatkan jaminan sosial yang layak. Reformasi jaminan sosial memang tidak akan lepas dari kepentingan politik. Hanya saja, keputusan Wapres tidak konsisten dengan janji politik yang prorakyat. Maka, setelah keputusan PN Jakarta Pusat, masihkah akan terjadi kemandekan? Wallahu a’lam.

Hasbullah Thabrany Guru Besar Universitas Indonesia
diambil dari : http://nasional.kompas.com/read/2011/07/19/02440557/Hukuman.Pemerintah.dan.BPJS

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes