Rabu, 02 November 2011

BPJS WALI AMANAH

 

Dikhawatirkan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang berbentuk BUMN rawan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu berkaitan dengan kekuasaan atau penguasa; dan, bisa dipimpin oleh orang-orang yang tidak kompeten atau tepat,karena untuk kepentingan tertentu. Meskipun, sistem tata kelola perusahaannya jelas, dan telah memiliki sistem akuntansi sertapelaporan keuangan sesuai Standar Akuntansi.

Konsep Pemerintah mengenai BPJS, sebenarnya telah jelas mulai dari Azasnya yang berlandaskan Kemanusiaan, Manfaat, dan Keadilan Sosial (Pasal 2 UU SJSN); Tujuannya yang hendak memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak (Pasal 3 UU SJSN); dana amanat BPJS untuk menjalankan sembilan Prinsip (Gotong-Royong, Nirlaba, Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Portabilitas, Kepesertaan bersifat wajib, Dana Amanat, dan Hasil pengelolaan dana jaminan sosial (jamsos) sepenuhnya untuk pengembangan program).

“Pada perkembangannya, kini telah disepakati untuk membentuk dua BPJS yakni untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan, Kecelakaan Kerja, dan Kematian. Sedangkan satu lagi adalah BPJS Pensiun, dan Hari Tua. Meski demikian, bila dianggap perlu dapat dibentuk BPJS baru dengan Undang-Undang (UU),” tutur Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, ketika berbicara pada diskusi bertajuk ‘Format Ideal BPJS: BUMN atau Wali Amanat?” di Rumah Partai Amanat Nasional (PAN), Jakarta Selatan (9/6).

Sebagai badan yang bertugas menyelenggarakan program jamsos berdasarkan UU, kata Isa lagi, fungsi BPJS adalah mengumpulkan iuran, mengelola dan mengembangkan dana jamsos, mengumpulkan dan mengelola data peserta, membayarkan manfaat atau membiayai pelayanan kesehatan, memberikan laporan mengenai penyelenggaraan program, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program. “Adapun wewenang BPJS adalah menagih iuran, menginvestasikan dana jamsos, melakukan pengawasan dan pemeriksaan, serta memungut imbal jasa penyelenggaraan program,” jelasnya. 

Turut berbicara pada diskusi ini adalah Direktur Operasional PT Askes (Persero) Umbu M Marisi, Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Said Iqbal, anggota Pansus DPR RUU BPJS dari Fraksi PAN, Hang Ali Saputra Syah Pahan, dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat-UI, Hasbullah Thabrany.

Untung-Rugi BPJS BUMN danWaliAmanat

Menurut politisi PAN, Hang Ali, ada sejumlah keuntungan bila BPJS berbentuk Wali Amanat yaitu lebih independen tidak diintervensi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu, karena baik peserta, pemberi kerja ataupun pemerintah memiliki perwakilan; Peserta dan keluarganya akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, karena seluruh hasil pengembangan dikembalikan kepada peserta; Dalam pengambilan keputusan peserta mempunyai perwakilan; dan, menjalankan prinsip gotong-royong dimana masyarakat yang tidak mampu akan disubsidi oleh yang mampu.

“Tetapi, bila BPJS berbentuk BUMN, juga ada keuntungannya yakni telah memiliki sistem tata kelola perusahaan yang jelas; dan juga telah memiliki sistem akuntansi dan pelaporan keuangan sesuai Standar Akuntansi,” ujarnya.

Sedangkan kerugian BPJS dalam bentuk BUMN yaitu kendalinyadipegang penuh oleh Pemerintah termasuk pengelolaan dana dan investasi; Peserta mendapatkan manfaat yang lebih sedikit karena sudah dipotong untuk deviden dan membayar pajak; dan, Dalam pengambilan keputusan, kepentingan peserta sering terabaikan oleh kepentingan pemerintah/kekuasaan.“Tak hanya itu, kerugian lain adalah rawan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu berkaitan dengan kekuasaan/penguasa; dan, bisa dipimpin oleh orang-orang yang tidak kompeten/tepat karena untuk kepentingan tertentu,” urainya.

Karena itulah, kata Hang Ali, pihaknya merekomendasikan wujud BPJS ke depan berbentuk Badan Wali Amanat, nirlaba sesuai dengan semangat UU SJSN.

Jangan BPJS Tunggal
Sementara itu, Sekjen KAJS Said Iqbal menyarankan agar jangan membentuk BPJS tunggal. Artinya, tetap mempertahankan keberadaan empat BPJS BUMN yang ada (PT Askes, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Jamsostek). “Dengan alasan, pertama, dalam jamsos di Indonesia, iurannya ada yang berasal dari iuran wajib pemerintah (APBN) dan ada iuran wajib peserta (pengusaha dan pekerja/buruh). Kedua sumber iuran ini tidak bisa begitu saja digabungkan karena berasal dari sumber berbeda. Harus dipertimbangkan faktor resiko akibat penggabungan BPJS yang telah ada menjadi BPJS tunggal. Misalnya, resiko penyediaan dana PSL (Past Service Liability) Jaminan Pensiun PNS/TNI-Polri akan mencapai Rp 300 triliun dan PSL bagi pekerja swasta juga ratusan triliun rupiah. Bagaimana menggabungkan PSL ini?” urainya.

Kedua, kata Said, bentuk BPJS yang ada (empat BPJS tetap dipertahankan), tetapi kepesertaannya diperluas dan jenis programnya ditambah. “Misalkan saja, BPJS Askes yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia (termasuk pekerja/buruh),” ujarnya.

Atau, lanjutnya lagi, BPJS Jamsostek yang sekarang ini pesertanya hanya pekerja formal dan jenis programnya hanya empat program yaitu Jaminan Kematian, Kecelakaan Kerja, Hari Tua, dan Kesehatan. Maka, dengan RUU BPJS ini dirubah bahwa peserta BPJS Jamsostek  adalah pekerja formal, pekerja informal, dan TKI dengan jenis programnya menjadi lima program, yaitu Jaminan Kematian, Kecelakaan Kerja, Hari Tua, Pensiun, dan Kesehatan (dimana khusus Jaminan Kesehatan penyelenggaraanya dialihkan ke BPJS Askes). Atau, misalnya lagi, selama ini PNS/TNI-Polri tidak mendapat Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian maka dengan RUU BPJS ini PNS/TNI-Polri mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian,” tuturnya seraya mendesak agar BPJS mempunyai hak  melakukan penindakan hukum (law enforcement).

Badan Hukum Khusus?
Sementara itu, Guru Besar FKM-UI, Hasbullah Thabrany menyarankan, agar BPJS baru nanti adalah merupakan Badan Hukum Khusus yang dibentuk dengan UU. “Jauh lebih bergengsi dari PT Persero yang dibentuk Notaris. Adapun Direksi, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Urusan Nasional sebagai bagian dari Kinerja Nasional, bukan urusan dagang (BUMN). Jauh lebih bergengsi dibandingkan bila diangkat oleh Menteri,” ujarnya.

Perubahan Persero menjadi BPJS, kata Hasbullah, dilakukan seketika. “Tidak perlu likuidasi, tidak perlu perubahan manajemen, tidak perlu perubahan karyawan, tidak perlu merger. Semua sistem yang ada dibawa, kecuali dividen, pajak, dan manajemen tertutup, Dewan Komisaris yang dihilangkan/diganti. Ambil contoh, perubahan Bank Ekspor Impor (BEI) menjadi Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI). Selain itu, insentif direksi dan karyawan berubah: dari laba/tantiem kepada pencapaian efisiensi dan kepuasan peserta,” jelasnya. (fadli)

Sumber : Jamsos

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes