Senin, 15 Agustus 2011

Iuran Jaminan Sosial

Iuran Jaminan Sosial

Kalo penjelasan Sulastomo, Ketua Tim SJSN perancang UU SJSN:

1. Mengapa harus iur?

Setiap penyelenggaraan program Jaminan Sosial, sudah tentu memerlukan biaya. Cara-cara pembiayaan itu, tidak terlepas dari cita-cita buat apa negara itu didirikan. Bagi Indonesia, sesuai dengan falsafah berbangsa dan bernegara kita, di mana “kebersamaan/gotong royong” mendasari segala kehidupan kita, biaya program jaminan sosial (iuran) melalui mekanisme asuransi sosial (bukan asuransi komersial) adalah yang paling tepat. Sebab, dalam mekanisme asuransi sosial, kegotongroyongan itu sangat lengkap.

Dalam penyelenggaraan program “Jaminan Kesehatan” misalnya ada kegotongroyongan antara: yang kaya dan yang miskin, yang sehat dan yang sakit, yang tua dan yang muda, juga yang risiko sakit tinggi dan yang rendah. Kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan juga tidak memerlukan pemeriksaan kesehatan pendahuluan, sehingga juga sangat “manusiawi”.

2. Sekali lagi: tentang iur biaya?

Salah satu ciri penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan dalam SJSN adalah bahwa Jaminan Kesehatan diselenggarakan dengan mengintrodusir “managed healthcare concept” (konsep pelayanan kesehatan terkelola). Hal ini diperlukan, agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan  dapat terselenggara  dengan efisien, mencegah “over-utilization” (pemanfaatan yang berlebih) dan juga “unnecessary utilization” (pemanfaatan yang tidak perlu), sesuai dengan prinsip-prinsip “kendali mutu dan biaya” yang diharapkan.

Iur biaya bagi yang menggunakan pelayanan kesehatan (“user fee”), sebagai salah satu elemen dalam konsep “managed healthcare concept” diperlukan agar pelayanan kesehatan diberikan sesuai dengan  kebutuhan medik (“medical needs”) dan bukan semata keinginan (“demands”) pasien, yang sering membuka peluang “over-utilization”, “unnecessary utilization” dan bahkan “abuse” (penyalahgunaan), sebab konsumen kesehatan (pasien) sebenarnya adalah tidak tahu (“ignorant”) berapa harus membayar.

Meskipun demikian, perlu ditegaskan bahwa iur biaya itu tidak boleh menghalangi pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mediknya. Kemampuan ekonomi tidak boleh menjadi penghalang untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini akan diatur dalam “delivery system” (sistem penyediaan) Jaminan Kesehatan yang akan ditetapkan kemudian.

Adanya “iur biaya” juga lebih mewujudkan keadilan dengan peserta lain yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan, dan juga dapat bersifat edukasi untuk upaya pencegahan penyakit. Banyak studi telah memperkuat teori ini. Selain itu dengan “managed healthcare concept” orientasi pelayanan kesehatan menjadi “pencegahan” (“preventive”) dan bukan “pengobatan” (“curative”).

Catatan saya:

Sesungguhnya antara pendukung maupun pengkritik SJSN sama-sama menginginkan terwujudnya jaminan sosial bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Yang menjadi perdebatan adalah darimana sumber pendanaannya diperoleh. SJSN menganut sumber pendanaan melalui iuran, di mana yang mampu mengiur dan yang tidak mampu iurannya ditanggung oleh Negara melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Para pengkritik menuntut sumbernya dari pajak yang sudah disetorkan rakyat sekian lama.

Para pengkritik SJSN ada benarnya di sini, seandainya seluruhnya pembiayaan memang bisa ditanggung oleh pajak tentu itu akan efektif sekali, karena akan lebih jelas dan pasti sumber maupun pengelolaannya. Namun mereka yang mendukung SJSN juga punya kebenaran dengan bertanya apa yang bisa dilakukan untuk sungguh mewujudkan pajak sebagai sumber biaya jaminan sosial? Alat apa yang tersedia saat ini untuk melakukan itu? Bahkan dengan mekanisme yang “patungan” seperti SJSN pun resistensi pemerintah sudah begitu kuatnya, apalagi dengan mengambilnya dari pajak? (lihat catatan soal kaitan biaya jaminan sosial dengan APBN yg ditolak habis2an oleh Pemerintah).

Jaminan sosial juga bukan hanya soal jaminan kesehatan, ia juga mencakup jaminan pensiun, yang memang mensyaratkan adanya partisipasi peserta melalui iuran. Jaminan kesehatan bagi buruh formal saat ini pun diperoleh melalui iuran, yang selama ini dibayarkan oleh majikan. Tetapi jaminan kesehatan ini pun ikut hilang ketika ia kehilangan pekerjaan (misal karena di-PHK, pensiun, atau ingin mengurus keluarga)!

SJSN menginginkan agar jaminan kesehatan tidak hilang juga ketika seseorang tidak lagi dalam hubungan kerja lagi. Mereka ini yang tidak cukup kaya untuk membiayai kesehatannya, tapi juga tidak cukup miskin untuk mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), harus tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan  dan tidak menjadi miskin karena sakit. Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijakan publik seperti SJSN inilah, setidaknya untuk saat ini, mekanisme yang tersedia untuk itu dan lazim dipraktekkan di berbagai Negara.

Seorang kawan buruh juga bertanya, bukankah selama ini ia juga sudah iuran (jamsostek)? Bedanya dg sekarang uang yg terkumpul di Jamsostek itu bertransformasi menjadi 'dana amanat' milik buruh bukan milik BUMN/Pemerintah spt sekarang. Dan seorang kawan buruh di DJSN menambahkan bahwa dg mekanisme iuran itu kita sebagai masyarakat bisa punya alasan kuat untuk selalu mempersoalkan penegakan konstitusi jaminan sosial ini.

(Sumber: Wawancara dg Sulastomo, 6 Agustus 2010, sudah dimuat di tabloid Lembur.)

UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004

UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004

Inilah satu-satunya negeri di mana pemerintah dihukum karena tidak menjalankan Undang-Undang Jaminan Sosial.

Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Nomor 40 Tahun 2004 adalah perintah konstitusi. UUD 1945 mengharuskan adanya jaminan sosial untuk seluruh rakyat, bukan hanya untuk pegawai negeri.

Menjalankan UU SJSN memerlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang benar. Untuk itu, UU SJSN dan Mahkamah Konstitusi memerintahkan empat BUMN (Asabri, Askes, Jamsostek, dan Taspen) menyesuaikan diri dengan UU SJSN paling lambat 19 Oktober 2009.

Kenyataannya, pemerintah lalai menjalankan UU SJSN dan keputusan MK. Jadi DPR mengambil hak inisiatif menyusun RUU BPJS yang dijadwalkan selesai pertengahan Juli ini.

Namun, menjelang batas akhir RUU BPJS muncul berbagai upaya ”pembusukan” UU SJSN dan RUU BPJS. Pembusukan itu antara lain bahwa UU SJSN tidak prorakyat, mengalihkan tanggung jawab negara ke rakyat, BPJS akan mengambil dan menginvestasi uang peserta untuk asing, SJSN konsep neolib, SJSN disponsori asing, transformasi BPJS tidak legal, dan transformasi BPJS mengancam keuangan negara.

Tidak tanggung-tanggung, pembusukan itu bahkan datang dari anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Siti Fadilah Supari, dan Menteri BUMN dalam surat tanggal 24 Juni 2011.

Hukuman bagi pemerintah

Sadar akan hak-haknya yang tidak diberikan pemerintah dan sadar akan kewajibannya untuk mengiur, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alhamdulillah, dalam karut-marut wajah sistem peradilan Indonesia, putusan PN Jakarta Pusat sangat obyektif.

PN Jakarta Pusat atas perkara Nomor 278/PDT.G/2010/PN.JKT.PST memutuskan bahwa tergugat (pemerintah: presiden, wakil presiden, Ketua DPR, dan delapan menteri terkait) telah lalai tidak menjalankan UU SJSN.

PN Jakarta Pusat juga menghukum pihak pemerintah untuk segera mengundangkan UU BPJS dengan cara menyesuaikan badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dengan UU SJSN. Keputusan tersebut datang tepat waktu ketika terjadi polemik ”pembusukan” RUU BPJS.

Berbagai tulisan dan komentar ”pembusukan” RUU BPJS yang menyesatkan datang dari pejabat negara, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan peneliti. ”Pembusukan” itu terjadi karena, pertama, banyak orang berkomentar tanpa membaca UU SJSN dan RUU BPJS beserta penjelasannya dengan teliti. Mereka ”mendengar” atau ”membaca sepotong pasal” lalu ikut rombongan ”pembusukan”.

Mereka juga tidak memahami bagaimana jaminan sosial diselenggarakan di banyak negara. Di seluruh dunia, yang disebut asuransi sosial atau jaminan sosial bersifat wajib. Gaji pekerja dipotong untuk iuran jaminan sosial. Oleh karena itu, sebuah perusahaan (PT persero) yang disusun untuk dagang (transaksi sukarela) tidak menjadi BPJS.

Konsep besar UU SJSN dan RUU BPJS mengoreksi kekeliruan ini dengan konsep BPJS sebagai badan hukum publik yang bukan perusahaan. Badan hukum publik (seperti Bank Indonesia dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) adalah milik negara, bukan milik perorangan, apalagi milik asing.

Kedua, mereka paham, tetapi punya kepentingan yang ingin dipertahankan. Mereka sengaja mengumbar informasi keliru atas nama rakyat. Dalam minggu ini dapat disimak, misalnya, komentar mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang kini anti-SJSN dan anti-BPJS.

Demikian Surat Menteri BUMN Mustafa Abubakar kepada tujuh menteri, yang ternyata juga mengandung informasi keliru. Ketika UU SJSN disusun, pengusaha, beberapa konsultan Amerika, dan juga politisi memojokkan SJSN. Itu karena kepentingan mereka terancam dengan UU SJSN dan UU BPJS.

Kini pemerintah (termasuk DPR) dihukum untuk segera menjalankan UU SJSN dan mengundangkan UU BPJS yang sejalan dengan UU SJSN. Penyusunan UU BPJS memang harus melibatkan DPR yang konsepnya dalam RUU BPJS sudah reformis. Pertanyaannya, apakah pemerintah akan menjalankan hukuman PN Jakarta Pusat? Dalam kondisi di mana banyak orang tidak patuh hukum seperti sekarang, memang banyak yang meragukan kesungguhan pemerintah.

Transformasi berhenti

Dalam pembahasan RUU BPJS, sesungguhnya Tim 8 Kementerian dan DPR sudah sepakat membentuk BPJS sebagai badan hukum publik. Namun, dalam tiga minggu terakhir Kementerian BUMN membelot. Tujuh kementerian lain sudah sepakat mentransformasi (deprivatisasi) keempat BUMN.

Kementerian BUMN, yang kini mengendalikan dana Rp 110 triliun uang pekerja swasta di PT Jamsostek tanpa ikut mengiur, memang terancam kehilangan kontrol atas sumber dana yang besar.

Kontrol Kementerian BUMN atas tiga BUMN lain, yaitu Asabri, Askes, dan Taspen (dana sekitar Rp 80 triliun), mungkin masih wajar sebab ketiganya mengurus uang pegawai negeri. Namun, konsep SJSN sesungguhnya mengubah ketiga BUMN tersebut menjadi BPJS agar tidak hanya melayani pegawai negeri demi keadilan bagi seluruh rakyat. Bisa dipahami (tetapi tidak bisa ditoleransi) jika Kementerian BUMN merasa terancam. Maka, mandeklah pengundangan UU BPJS.

Menteri BUMN melakukan gerakan politik melalui pertemuan khusus dengan Wakil Presiden Boediono untuk menolak transformasi BUMN ke BPJS. Ironisnya, ternyata Wapres meng-iya-kan. Hal ini jelas merupakan tindakan otoriter yang tidak sesuai dengan demokrasi.

Penolakan transformasi hanya melindungi segelintir orang yang kini berada di Kementerian BUMN dan pegawai keempat BUMN tersebut. Penolakan transformasi akan merugikan lebih dari 100 juta rakyat, khususnya keluarga pekerja, yang kini tidak mendapatkan jaminan sosial yang layak. Reformasi jaminan sosial memang tidak akan lepas dari kepentingan politik.

Hanya saja, keputusan Wapres tidak konsisten dengan janji politik yang prorakyat. Maka, setelah keputusan PN Jakarta Pusat, masihkah akan terjadi kemandekan? Wallahu a’lam.

Hasbullah Thabrany Guru Besar Universitas Indonesia

Di ambil Dari : http://nasional.kompas.com/read/2011/07/19/02440557/Hukuman.Pemerintah.dan.BPJS

Siaran Pers 12 Agustus 2011

SELAMATKAN DANA PESERTA JAMSOSTEK DARI TINDAK KORUPSI

Siaran Pers
                                       12  Agustus  2011:

SELAMATKAN DANA PESERTA JAMSOSTEK DARI TINDAK KORUPSI

    “Dimana ada gula, disana ada semut”. Ini adalah analogi yang pas untuk menggambarkan situasi pengelolaan dana yang dilakukan oleh keempat BUMN penyelenggara jaminan sosial yang sekarang ini ada, yakni  PT Jamsostek, PT Asabri, PT Askes, dan PT Taspen. PT Jamsostek kini mengendalikan dana Rp 110 triliun uang pekerja swasta, juga tiga BUMN lainnya, yaitu PT Asabri, PT Askes, dan PT Taspen (dana sekitar Rp 80 triliun), apabila ditotal jumlahnya hampir mencapai Rp 190 triliun. Jumlah dana sebesar Rp 190 triliun bukanlah jumlah yang kecil. Pengelolaan dana sebesar itu haruslah dikontrol oleh publik, sebab sangat rawan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, mengingat dana yang dikelola adalah dana milik peserta jaminan sosial.
    Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini banyak dugaan yang ditujukan kepada perusahaan BUMN yang telah dijadikan “sapi perah” oleh para elite politik di negeri ini. PT Jamsostek selaku lembaga penyelenggara jaminan sosial yang memiliki aset hampir mencapai Rp 110 triliun, merupakan salah satu BUMN yang patut dicurigai rawan praktek korupsi, terbukti sebagaimana telah diketahui bersama pada tahun 2007 salah satu direktur PT Jamsostek telah menjadi ”pesakitan” karena tersandung kasus korupsi di PT Jamsostek.
    Tidak hanya itu, kecurigaan besar telah terjadi praktek korupsi di PT jamsostek, antara lain disebabkan oleh sudah sering tersiar kabar bahwa banyak dana yang salah urus dan bahkan seringkali diinvestasikan pada tempat yang salah, bahkan dana yang dikelola oleh PT Jamsostek bisa dipinjam oleh pihak-pihak yang sedang memegang kekuasaan. Kecurigaan semakin besar ketika tersiar berita dan telah diamini oleh Dirut PT Jamsostek bahwa terdapat DANA TIDAK BERTUAN yang dimiliki oleh PT Jamsostek.
Lihatlah betapa tidak adilnya PT Jamsostek Hasil RUPS Jamsostek dipublikasikan Rabu (2/7/2008) . Gaji Direktur Utama, tahun buku 2008 sebesar Rp 44 juta. Sementara anggota direksi yang lain mendapatkan gaji sebesar 90%  dari gaji pokok Dirut ( Rp 39.6 juta ); gaji komisaris utama adalah 40% dari gaji Dirut (Rp 17,6 Juta ); sedangkan anggota komisaris sebesar 36% dari gaji Dirut (Rp 15,84 Juta ); honorarium sekretaris Dewan Komisaris sebesar 15% dari gaji Dirut( Rp 6.6 Juta ).
Selain gaji, para anggota komisaris tersebut juga mendapatkan sejumlah fasilitas.
Laba bersih yang diperoleh Jamsostek sebesar Rp 998,393 miliar diputuskan untuk:
Dana Pengembangan Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 55% atau Rp 549,116 miliar.
Cadangan Umum sebesar 26,56% atau Rp 265,170 miliar
Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) sebesar 10% atau Rp 99,839 miliar.
Cadangan Tujuan sebesar 4,01% atau Rp 40 miliar
Program Kemitraan sebesar 2% atau Rp 19,967 miliar
Program Bina Lingkungan sebesar 2% atau Rp 19,967 miliar
Insentif Kinerja bagi 7 anggota Direksi dan 6 anggota Dewan Komisaris sebesar 0,43% atau Rp 4,331 miliar, dibagi rata dan pajak ditanggung si penerima. (1 orang mendapat = Rp 333 Juta)
Peserta JHT = Rp 61 Ribu /orang ( 9 juta peserta ).

Sangat mencolok bila dilihat Gaji Direktur Rp 480 juta/tahun ditambah intensip Rp 333 juta/tahun total Rp 730 juta dengan dana pengembangan untuk peserta Rp 61 ribu/tahun .
Bila dicermati ada dana bina lingkungan ,dana kemintraan dan dana cadangan yang totalnya mendekati Rp 80 Miliar  dimana pengeluarannya bisa dilakukan secara bebas oleh dewan komisaris.

    Melihat hal diatas maka dana trilyunan akan sangat ’RAWAN KORUPSI ” dan sangat tidak adil bagi peserta .Karenanya KAJS sudah berkomitmen dengan ICW (Indonesia Corruption Watch) untuk secara bersama dan berkelanjutan melakukan pengawasan khususnya pada dana peserta PTJamsostek agar tidak terjadi   TINDAK PIDANA KORUPSI yang akan sangat merugikan peserta .

Karenanya KAJS dan ICW dengan ini menuntut agar :
1.    PT Jamsostek memberikan laporan keuangan dan juga data investasi dana Peserta yang telah diaudit BPK dan auditor eksternal selama 4 tahun terakhir.
2.    PT Jamsostek harus bertanggung jawab atas adanya ”dana tak bertuan” yang jumlahnya puluhan milliar untuk diberikan pada peserta yang berhak menerimanya .
3.    Bila ditemukan indikasi Tindak Pidana Korupsi akan melaporkan Dirut PT Jamsostek ke KPK .
4.    PT Jamsostek tidak menghalangi proses transformasi 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial yang ada ke Badan Hukum Publik dengan melakukan black campaign menolak pengesahan RUU BPJS, terlebih memberikan bantuan dana pada pihak yang menolak proses pengesahan RUU BPJS .
5.    Dirut PT Jamsostek menyatakan permintaan maaf secara tertulis pada 3 ( tiga ) konfederasi Serikat Pekerja karena pernah dan berulang kali membuat pernyataan di  media yang berdampak pada terpecahnya para pekerja menjadi Pro dan Kontra terhadap disahkannya RUU BPJS dan Transformasi menjadi badan hukum publik

Berdasarkan hal tersebut diatas, KAJS dan ICW secara bersama-sama berkomitmen untuk terus memonitoring seluruh proses pembahasan RUU BPJS termasuk proses transformasi 4 BUMN menjadi badan hukum publik agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Apabila diketemukan indikasi tersebut maka KAJS dan ICW tidak akan segan-segan akan melaporkan seluruh pihak terkait termasuk direktur utama dan seluruh direktur PT Jamsostek kepada pihak yang berwajib untuk mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum.

 “Teruslah Berjuang dan JANGAN PERNAH LELAH sampai RUU BPJS DISAHKAN dan Diimplementasikan“

                                        Jakarta, 12 Agustus  2011
                            KOMITE AKSI JAMINAN SOSIAL


Presidium: Said Igbal (Sekjen); R. Abdullah; Achmad Munji; Indra Munaswar (08159559867); Ali Akbar; Timbul Siregar (0818835521); Muhamad Rusdi; Surya Tjandra (085888630695)

Foto : Google Image ( http://badaiardiat.blogspot.com/2011/01/stop-korupsi-dan-suap-di-indonesia.html)

Artikel : Tim KAJS

Press Release ICW dan KAJS

Press Release ICW dan KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial)

Gerakan Antikorupsi Harus Dukung RUU BPJS menjadi UU BPJS…!


Gerakan antikorupsi harus mendukung pengesahan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) menjadi undang-undang. Dukungan ini penting untuk mewujudkan tujuan akhir gerakan antikorupsi yakni, mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Gerakan antikorupsi tidak harus melulu penindakan dan pemenjaraan koruptor serta pengembalian kerugian negara. Akan tetapi, gerakan antikorupsi juga harus mampu mengubah struktur politik yang tidak adil dan menghambat pencapaian kesejahteraan tersebut.

Oleh karena itu, keberhasilan gerakan antikorupsi tidak hanya diukur oleh seberapa banyak koruptor masuk ke penjara serta kerugian negara yang berhasil diselamatkan. Akan tetapi, keberhasilan gerakan antikorupsi juga dapat diukur melalui kesejahteraan rakyat. Gerakan antikorupsi berhasil jika kesejahteraan rakyat meningkat dan sebaliknya, gagal jika kesejahteraannya semakin menurun.

Oleh karena itu, gerakan antikorupsi memprioritaskan penciptaan sistem penyelenggaraan negara yang demokratis, antikorupsi dan berkadilan sehingga mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu sistem penyelenggaraan negara yang saat ini dibangun adalah SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang termuat dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN.

SJSN adalah sistem jaminan sosial yang diselenggarakan negara dengan program jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Guna menjalankan program tersebut, UU SJSN mengamanatkan pembentukan badan penyelenggara yang dibentuk melalui undang-undang.

Sayangnya, meski amanat UU SJSN telah ada sejak 2004, akan tetapi sampai saat ini RUU BPJS tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Perdebatan alot antara DPR dan pemerintah serta rendahnya komitmen politik terutama dari pihak pemerintah mengakibatkan pembahasan berlarut-larut dan pengesahan yang selalu tertunda.

Pembahasan dan pengesahan RUU BPJS merupakan momen penting bagi gerakan antikorupsi dan gerakan sosial lainnya di Indonesia. Inilah badan yang diyakini mampu meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengesahan badan ini diharapkan dapat mengurangi masalah dan resiko kehidupan yang dihadapi rakyat Indonesia.

Pengesahan badan ini akan membantu rakyat Indonesia terutama dari kelompok miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan. Melalui jaminan sosial kesehatan semua biaya berobat ditanggung oleh BPJS. Rakyat Indonesia terutama dari kelompok miskin tidak akan pusing lagi memikirkan pembiayaan kesehatan ketika jatuh sakit.

Rakyat lanjut usia tidak lagi bergantung pada warga negara usia produktif karena memiliki jaminan hari tua dan pension yang dikelola dan dibayarkan oleh BPJS. Dengan adanya cakupan jaminan ini rakyat Indonesia akan memiliki rasa aman dan tenang dalam menjalankan berbagai aktivitas produktif.

Selain alasan diatas, gerakan antikorupsi dan gerakan sosial di Indonesia harus mendukung pengesahan RUU BPJS dengan alasan berikut :
1.  BPJS akan mampu mengurangi potensi korupsi dalam pengelolaan dana iuran peserta. Hal ini terjadi karena badan adanya pemisahan antara regulator dan operator pelaksana jaminan sosial. Dalam konteks ini, BPJS akan menjadi operator jaminan sosial sementara pemerintah bertindak sebagai regulator.

Pemisahan ini diyakini akan menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan diberbagai tingkatan pemerintah menunjukkan hal tersebut. Kasus penyelewengan dana jaminan sosial kesehatan terjadi karena adanya dua fungsi tersebut dipegang oleh pemerintah pusat dan daerah sekaligus dan didukung oleh penyedia jasa kesehatan.

2.  Potensi korupsi juga semakin berkurang karena BPJS lebih terbuka bagi public dibandingkan dengan penyelenggara lainnya seperti jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BUMN. BPJS merupakan badan publik lebih termasuk diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP (Keterbukaan Informasi Publik).

Penerapan undang-undang ini lebih kuat dan menjamin akses informasi publik jika penyelenggara berbentuk BPJS dibandingkan BUMN. Sementara itu, UU KIP kurang kuat menjamin akses informasi publik jika penyelenggara jaminan sosial berbentuk BUMN. Keterbukaan informasi BUMN selain diatur oleh diatur UU KIP akan tetapi diatur oleh undang-undang lain seperti UU BUMN atau UU Pasar Modal.
Oleh karena itu, tata kelola BPJS dijamin akan lebih berkualitas dibandingkan dengan tata kelola BUMN.

3.  BPJS dapat mengatasi berbagai masalah dalam sistem kesehatan. Penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan oleh BPJS diharapkan mampu mengurangi praktek kecurangan penggunaan obat dan alat kesehatan secara tidak rasional oleh tenaga medis, penyedia jasa kesehatan dan perusahaan obat dan alat kesehatan.

Sebagaimana diketahui, pasien seringkali dibebani oleh obat dan penggunaan alat kesehatan melebihi kebutuhan berobatnya. Hal ini terjadi karena tenaga medis dan penyedia jasa kesehatan dikejar target volume penjualan obat atau penggunaan alat kesehatan oleh perusahaan obat dan alat kesehatan. BPJS diyakini mampu memaksa tenaga medis dan penyedia jasa kesehatan tersebut untuk mengikuti paket-paket jaminan sosial kesehatan yang telah disepakati.

Oleh karena itu, tidak ada lagi celah bagi tenaga medis dan penyedia jasa kesehatan menggunakan obat dan alat kesehatan secara tidak rasional hanya untuk mencari keuntungan.

4.  Selain itu, BPJS diharapkan mampu memaksa peserta dan penyedia layanan kesehatan untuk taat mengikuti sistem rujukan kesehatan berjenjang. Pelayanan kesehatan berjenjang sangat penting untuk untuk optimalisasi pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Jadi, peserta jaminan sosial kesehatan yang tidak mengikuti pelayanan kesehatan berjenjang tidak termasuk dalam skema jaminan sosial kesehatan yang dibiayai oleh BPJS.

5.  BPJS juga mampu memaksa penyedia jasa kesehatan untuk memberikan pelayanan berkualitas tanpa diskriminasi pada peserta jaminan sosial.

Penyedia jasa kesehatan akan mendapat teguran dari BPJS jika ada peserta yang menilai pelayananan kesehatan penyedia jasa kesehatan tidak melayani sesuai dengan kesepakatan BPJS dan penyedia jasa kesehatan.

6.  BPJS akan mudah memenuhi aspek portabilitas. Hal ini terjadi karena BPJS akan melakukan kontrak dengan seluruh penyedia jasa kesehatan diseluruh Indonesia.

Rakyat yang memiliki mobilitas tinggi tidak lagi khawatir karena tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan karena tidak berkontrak dengan penyelenggara jaminan sosial kesehatan.

Uji Informasi Publik

ICW bersama KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) melakukan uji informasi publik dengan mengajukan permintaan informasi pada empat BUMN yang akan bertransformasi menjadi BPJS. Empat BUMN tersebut adalah, PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Asabri dan PT. Taspen. Informasi publik yang diminta adalah besaran remunerasi, isentif, tantiem yang diterima oleh jajaran direksi dan komisaris empat BUMN tersebut.

Selain itu, ICW dan KAJS juga meminta informasi detail tentang investasi dana titipan yang dikelola oleh empat BUMN tersebut. Informasi detail yang diminta adalah besaran dana, strategi, keputusan, keuntungan dan penggunaan keuntungan atas investasi dana titipan tersebut.

Permintaan informasi ini didasarkan pada pasal 14 dan pasal 22 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi ini akan digunakan ICW dan KAJS untuk melihat kesiapan empat BUM tersebut menjadi BPJS.


Rekomendasi

Gerakan Antikorupsi

Seluruh pendukung gerakan antikorupsi harus mendukung pengesahan RUU BPJS menjadi UU BPJS. Gerakan antikorupsi senantiasa mengawasi pengelolaan dana masyarakat yang dikelola empat BUMN dan juga pada BPJS jika sudah terbentuk.

Pemerintah

Mempercepat pembahasan RUU BPJS dengan DPR. Pemerintah harus memperpendek periode tranformasi empat BUMN menjadi BPJS paling lama 2 tahun.

DPR

Memprioritaskan kepentingan rakyat diatas kepentingan politik dengan segera mengesahkan RUU BPJS menjadi UU BPJS.

BUMN

Mendukung pengesahan BPJS dan mempersiapkan kelembagaan transformasi menjadi BPJS.


--
Febri Hendri A.A
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik
Indonesia Corruption Watch

Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6, Kalibata
Jakarta

HP : 087877681261
Ktr : 021-7901885
Fax : 021-7994005

Sumber : Facebook KAJS

Komite Aksi Jaminan Sosial dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pokok-Pokok Pikiran

Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS)

Komite Aksi Jaminan Sosial dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh


1 . Mendukung, menyetujui, dan mendesak pemerintah bersama DPR RI untuk
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (RUU BPJS) pada tahun 2011 sesuai amanat Undang-Undang no
40/2004 tentang SJSN dan tidak merugikan hak kepesertaan serta tidak
menghilangkan program dan aset kekayaan.

2. Menuntut agar proses transformasi penyelenggara jaminan sosial di
Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Dari 4 penyetenggara jaminan sosial dengan bentuk badan hukum BUMN
dan PT yang sudah ada (yaitu: PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen dan PT. Asabri) ditransformasi menjadi 4 BPJS ( yaitu BPJS Jamsostek, BPJS Askes, BPJS Taspen dan BPJS Asabri) yang berbadan hukum publik dengan menjalankan 9 prinsip dan 3 azas sistim jaminan sosiat sesuai dengan Undang-Undang no 40/2004.


b. Menolak untuk mempertahankan 4 BUMN dan PT yang sudah ada (PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen dan PT. Asabri) sebagai penyetenggara program jaminan sosiat setetah terjadinya transformasi sebagaimana dinyatakan dalam butir 2 (a).


c. 4 BPJS hasil transformasi sebagaimana dinyatakan datam butir 2 (a) akan
menyetenggarakan 5 program jaminan sosial dengan memperluas kepesertaan dan menambah program sesuai amanat Undang-undang No 40/2004, yaitu:


• BPJS Jamsostek menyelenggaran program JK, JKK, JHT, Jaminan pensiun wajib bagi pekerja formal, pekerja informal dan TKI.

Catatan : BPJS Jamsostek wajib menyelenggarakan jaminan pensiun untuk pekerja swasta. Sedangkan jaminan kesehatan untuk pekerja dan keluarganya (formal, informal dan TKI) saat masih bekerja maupun setelah tidak bekerja lagi diselenggarakan oteh BPJS Askes.

• BPJS Askes menyelenggarakan program jaminan kesehatan seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia (universal coverage), termasuk PNS, TNI, Potri, pekerja formal, pekerja informal, TKI dan seturuh rakyat Indonesia. Disamping itu BPJS Askes juga menyetenggarakan program JK dan JKK untuk PNS.

• BPJS Taspen menyelenggarakan program jaminan pensiun dan JHT bagi PNS dan pejabat negara tainnya.

• BPJS Asabri menyelenggarakan program JK, JKK, jaminan pensiun, dan program khusus lainnya bagi TNI dan Poiri.

3. Badan Hukum BPJS adalah Badan Hukum Publik dengan melaksanakan 9 prinsip dan 3 azas sistim jaminan sosial yang diatur datam Undang-Undang no 40/2004.

4. Organ tiap-tiap BPJS (kususnya BPJS Jamsostek dan BPJS Askes) terdiri dari:

a. Dewan Pengawas terdiri dari unsur Tripartit (unsur pemerintah; unsur organisasi pengusaha; unsur organisasi pekerja) dengan rasio 1:1:1 dan berjumiah maksimal 15 orang.
Dan di tiap kantor cabang BPJS harus ada juga Dewan Pengawas Daerah (unsur Tripartit di Daerah).

b. Dewan Direksi terdiri dari orang-orang profesional.
Catatan:

* Pemilihan Dewan Pengawas dan Dewan Direksi ditakukan oleh panitia seleksi independen oteh Presiden.

* Struktur BPJS (organ BPJS) dibawah Presiden, bukan di bawah Kementerian.

* Tripartit dari unsur organisasi pekerja/buruh harus berasal dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang tercatat dan terverifikasi di Kementerian bidang ketenagakerjaan.


5. BPJS mempunyai kewenangan pengawasan dan penyidikan yang melekat di badannya untuk metakukan penegakan hukum (law enforcement) bukan dilakukan oleh Kementerian seperti yang sudah berjalan sekarang ini.


6. Pengembangan investasi dan penempatan dana jaminan sosial oleh Direksi BPJS wajib mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas BPJS di tingkat pusat, dengan tetap mengikuti kebilakan yang telah dirumuskan oteh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).


7. RUU BPJS ini harus mengatur pasal sanksi yang memberikan efek jera kepada pemberi kerja dan pemerintah bilamana tidak menjalankan program jaminan sosial sesuai Undang-Undang, yang metiputi sanksi administrasi, perdata dan pidana.

Jakarta, 12 Juli 2011
[Nama dan tanda tangan]


- Sjaiful DP, Ketua Majelis Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)

- Mudhofir, Presiden DEN Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera lndonesia (KSBSI)

- Alboin Sidabutar, Ketua DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seturuh Indonesia (KSPSI Pasar Minggu)

- Syukur Sarto, Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seturuh lndonesia (KSPSI Katibata)

- Said lqbal, Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)

Menuntut Jaminan Sosial

Menuntut Jaminan Sosial

Sulastomo

Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah terbit pada tahun 2004.

Kalau UU itu dilaksanakan, secara bertahap seluruh rakyat Indonesia akan memiliki proteksi sosial berupa ”jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian” sejak lahir hingga meninggal dunia.

Ternyata implementasi UU itu tidak mudah. Masa transisi lima tahun—sampai Oktober 2009— baru terbentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional. Adapun badan penyelenggaranya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), belum terbentuk.

DPR lalu berinisiatif mengajukan RUU pembentukan BPJS pada awal 2010, yang ditargetkan selesai tahun itu juga. Namun, meski sudah dibahas bersama 8 menteri, keberadaan RUU BPJS gagal disepakati. Dikabarkan bahwa pemerintah menyikapi RUU BPJS hanya sebagai ”penetapan”, sementara Dewan menghendaki juga ”pengaturan”.

Mengapa mandek?

Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa RUU BPJS mandek? Alasan formalnya sebagaimana dikemukakan di atas. Faktanya, delapan menteri itu tidak pernah hadir lengkap.

Lalu, adakah alasan lain yang mendasar? Sebab, semua fraksi DPR telah bulat menyepakati draf RUU BPJS. Suatu hal yang sulit dimengerti kalau di era demokrasi, di mana fraksi-fraksi—termasuk fraksi pendukung pemerintah—ternyata tak mampu berbuat apa-apa ketika pemerintah enggan melakukannya.

Perlu disadari, Program Jaminan Sosial adalah amanat konstitusi. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 2000 mengirimkan pertimbangan kepada Presiden tentang perlunya segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera. Disebutkan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan salah satu sarana bagi perwujudan hak asasi manusia yang menjamin warga negaranya tidak telantar, melalui santunan bagi penganggur, santunan bagi orang sakit, dan santunan bagi hari tua.

Dalam pertimbangan DPA itu juga disinggung potensi Program Jaminan Sosial sebagai pemupuk dana yang dapat menyangga perekonomian bangsa. Program ini juga sebagai alat pemberdayaan pranata ekonomi masyarakat, tempat memotivasi nilai-nilai sosial berupa rasa kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial, serta instrumen perekonomian negara. Program Jaminan Sosial dengan demikian juga merupa- kan instrumen untuk mandiri.

Substansi SJSN

Substansi SJSN pada dasarnya ditujukan untuk perluasan kepesertaan, peningkatan dan perluasan manfaat, serta koreksi terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial yang telah berjalan. Di kalangan pegawai negeri (PNS) dan anggota TNI/Polri belum ada jaminan kecelakaan kerja sehingga kalau terjadi kecelakaan kerja tak ada santunannya. Jaminan pensiun PNS, anggota TNI/Polri sebagian besar juga menjadi beban APBN sehingga dalam jangka panjang akan memberatkan APBN.

PNS, anggota TNI/Polri dengan demikian juga tertutup memanfaatkan nilai tambah investasi dananya. UU SJSN mengamanatkan mengubah sistem pensiun menjadi funded–system, di mana iuran jaminan pensiun dibayar oleh peserta (PNS dan anggota TNI/Polri) dan pemberi kerja (pemerintah) dan diserahkan kepada BPJS. BPJS dapat menginvestasikan dana yang dikelola sehingga membuka peluang peserta menikmati nilai tambah hasil investasi.

Tenaga kerja swasta, baik formal maupun nonformal, sebagian besar belum memiliki jaminan pensiun dan jaminan kesehatan purnatugas. Adapun bagi masyarakat yang kurang mampu, sesuai Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945, mereka bisa menjadi bagian dari Program Jaminan Sosial sebagai peserta penerima bantuan iuran, di mana iuran jaminan sosial mereka dibayarkan oleh pemerintah.

Jadi, adalah keliru kalau SJSN akan memberatkan pemerintah. Sebaliknya, SJSN akan lebih menyehatkan dan meningkatkan kemampuan pemerintah membiayai pembangunan ekonomi.

Hambatan

Salah satu hambatan yang dihadapi sejak penyusunan RUU SJSN adalah kekhawatiran dari kalangan dunia usaha. Selain merasa terbebani iuran jaminan sosial juga ancaman atas usahanya, khususnya industri di sektor asuransi, farmasi, dan kesehatan.

Kekhawatiran yang sesungguhnya tidak beralasan karena Program Jaminan Sosial telah diberlakukan di banyak negara, di mana tenaga kerja merupakan aset perusahaan yang harus dijamin kesejahteraannya. Di samping itu, pasar juga masih terbuka bagi kalangan masyarakat yang ingin memiliki santunan dan jaminan yang lebih besar, yang jumlahnya di Indonesia juga cukup bermakna.

Dengan kenyataan seperti itu, tuntutan terhadap jaminan sosial makin mendesak, khususnya penyelesaian pembahasan RUU BPJS yang sedang dibahas antara pemerintah dan DPR.

Sulastomo Direktur Operasional PT Askes Indonesia, 1986-2000; Ketua TIM SJSN, 2001-2004

Transformasi BUMN Menjadi BPJS

Transformasi  BUMN Menjadi BPJS ( jamsostek tidak layak menjadi BUMN )

Satu lagi kawan2, pertanyaan anda tentang kenapa jamsostek tidak mau berbadan hukum publik yang sesuai UU SJSN..???

Jika nanti TRANSFORMASI BUMN menjadi BPJS, maka akan ada transparansi dan audit publik (bisa dari BPK atau kalau indikasi korupsi jelas bisa KPK masuk).

Segelintir orang di jamsostek (Direksi atau petinggi jamsostek yang punya kepentingan), takut akan hal ini. Ada berapa Triliun uang buruh di Jamsostek di Investasikan tanpa ijin buruh, tanpa pengawasan yg jelas.

Bahkan mereka menebar isu kepada SP BUMN (para pekerja di Jamsostek dan 3 BUMN lain) dengan isu Nanti kalau transformasi maka akan terjadi PHK Massal di jamsostek dan 3 BUMN lainnya. Padahal itu semua tidak benar. Sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR saat Panja BPJS, bahwa TIDAK AKAN ADA PHK MASSAL pada 4 BUMN yang lama.

Malah logikanya adalah nambah pekerja nanti di jamsostek (sekarang saja jamsostek menangani 9,4 juta buruh, kalau berubah jadi BPJS kan menangani seluruh rakyat 230juta orang, Logikanya pasti malah menambah banyak pekerja baru). 

Jadi sekalian ingatkan kepada kawan2 pekerja jamsostek atau SP BUMN, jangan mudah di adu domba dan termakan isu yang dijadikan dasaqr kepentingan Elit Direksi di jamsostek.

Jika timbul orang ingin mempertahankan JAMSOSTEK tetap BUMN maka tanyakan dasar-nya dari mana.??
UU mana yang mengaturnya.???

Kalau mau kita debat saja dengan diskusi yg substansi,
1. Jika ada argumen JAMSOSTEK harus BUMN:
Lihat UU BUMN No.19 tahun 2003--> Modal BUMN adalah dari KEKAYAAN NEGARA yang dipisahkan dan penyertaan MODAL NEGARA dari APBN, Kapitalisasi cadangan, dan sumber lain dari Usaha dagang.

Kesimpulan-nya:
Kalau JAMSOSTEK itu uang-nya dari mana..??
UANG di JAMSOSTEK MURNI DARI IURAN Pekerja/Buruh.
APAKAH ada dari Kekayaan negara, ataukah penyertaan Modal negara.???
Tidak kan>>?? maka TIDAK BENAR JIKA JAMSOSTEK TETAP BUMN.  

Jadi jamsostek tidak layak menjadi BUMN.

2. Jika ada argumen JAMSOSTEK harus PT:

Lihat UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (PT)----->> Modal dasar PERSERO terdiri atas seluruh nilai nominal MILIK PEMEGANG SAHAM paling sedikit Rp.50 JUTA. Lanjut lagi di lain Pasal PERSERO didirikan oleh 2 orang/ Badan Hukum atau lebih dengan AKTA NOTARIS. Saat ini jamsostek pemegang saham-nya adalah Buruh, dan minimal juga tidak 50 juta, terus kita (pekerja/buruh) juga tidak ada Akta Notaris seperti layak-nya PT, hanya fotocopy KTP.  

Jadi JAMSOSTEK juga tidak Layak jika Badan Hukum PT.

Dari Argumen diatas, maka sangat tepat jika BPJS (sesuai Amanat UU SJSN 40 tahun 2004) di bentuk dengan UU, dan badan Hukum-nya harus menganut 9 prinsip dalam UU SJSN. Saat ini kesepakatan pemerintah dan DPR dalam Panja BPJS, Badan Hukum BPJS adalah Badan Hukum Publik yang sesuai dengan 9 prinsip dalam UU SJSN.

lalu apa yang salah..???

kenapa masih ada yang mempertahankan tetap harus BUMN.???

Maka kawan2, di saat-saat ujung perjuangan RUU BPJS banyak kalangan yang dibodohin, banyak antar pekerja/buruh yang akan di pecah belah.

INGAT, JAMSOSTEK itu hanya sebagai PELAKSANA, bukan pengambil kebijakan dalam pembahasan BPJS ini.

Pengambil kebijakan adalah DPR dan Pemerintah melalui kontrol kita (Buruh dan rakyat). Konsep BPJS sudah sangat jelas, bahwa organ BPJS adalah Dewan Pengawas (Unsur Tripartit pekerja;pemberi kerja;dan pemerintah), dan dewan Direksi (pelaksana operasional-nya).
Semoga bermanfaat, Mari kita lanjutkan perjuangan ini.....


Kontrubutor : Nyumarno

Manfaat RUU BPJS

 " Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa SELURUH RAKYAT MISKIN HARUS MENG-IUR (itu semua adalah pembohongan publik yang nyata2 mengganjal pembahasan RUU BPJS) "


Berikut ada catatan kecil tentang sedikit manfaat jika RUU BPJS dapat segera di SAH-Kan...

Sesuai dengan amanah UU No.40 Tahun 2004 Pasal 5 ayat 1, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  harus dibentuk dengan Undang-Undang”.

Menjelang diundangkannya UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang diperkirakan pada tanggal 22 Juli 2011, semakin banyak pihak yang merasa kepanasan seperti orang yang akan tercabik-cabik segala kepentingan pribadi atau kelompoknya jika RUU BPJS jadi diundangkan.

Sehingga dengan tidak segan-segan secara terbuka dan terang-terangan membuat gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memecah-belah gerakan buruh dan membuat kebohongan-kebohongan publik.

Sesungguhnya, sesuai dengan tuntutan KAJS selama ini, maka jika BPJS telah terbentuk, para pekerja baik yang bekerja pada sektor formal, informal termasuk petani, nelayan, PRT, TKI dan Iain-Iain akan memperoleh manfaat lebih, antara lain:

1.  Pekerja melalui wakilnya sebagai salah satu unsur tripartit yang duduk dalam Dewan Pengawas BPJS dapat langsung ikut menentukan dan mengawasi penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS bagi kepentingan seluruh peserta;

2.  Pengusaha/Pemberi kerja wajib mengikutsertakan para pekerja dalam program Jaminan Pensiun, yang selama ini  masih merupakan mimpi bagi sebagian besar pekerja Indonesia;

3.  Bagi pekerja yang mengalami PHK dengan berbagai sebab, akan tetap berhak mendapatkan Jaminan Kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak tejadi PHK (Pasal 21 ayat 1);  dan jika setelah lewat enam bulan yang bersangkutan belum juga mendapatkan pekejaan, maka negara wajib membayarkan iuran dalam bentuk Bantuan luran Jaminan Kesehatan untuk seumur hidup; (Pasal 21 ayat 2)

4.  Setiap pekerja beserta keluarganya mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi dan limitasi baik jenis penyakit yang diderita maupun biaya berdasarkan prinsip EKUITAS (kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan);

5. Bagi fakir miskin dan setiap orang yang tidak mampu iuran program jaminan sosial dibayar oleh Pemerintah (Pasal 17 ayat 4);

6. Penerima bantuan iuran diatas sudah jelas adalah Fakir Miskin dan orang tidak mampu. (berdasar dan mengacu Pasal 34 ayat 1 UUD 1945; definisi orang miskin dan tidak mampu  saat ini sedang dibahas RUU tentang Fakir Miskin di Komisi VIII DPR RI)

7. Setiap orang yang mengalami cacat total tetap iuran-nya dibayar oleh Pemerintah, (Pasal 21 ayat 3)

8. Dengan adanya Jaminan Sosial ini, nantinya manfaat juga akan dinikmati oleh TKI (baik saat masih dalam proses pemberangkatan maupun setelah bekerja di daerah negara tujuan, dengan perjanjian antar negara).

Jadi tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa SELURUH RAKYAT MISKIN HARUS MENG-IUR (itu semua adalah pembohongan publik yang nyata2 mengganjal pembahasan RUU BPJS).

Manfaat lebih bagi Pegawai Negeri (PNS, Prajurit TNI dan Anggota Polisi), antara lain adalah: 

1.  Berhak mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja, yang selama puluhan tahun tidak pernah didapatkan;

2.  Pemerintah selaku Pemberi Kerja wajib mengiur untuk program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun
bagi Pegawai Negeri. Selama ini, JHT dan Pensiun yang diterima oleh Pegawai Negeri dananya diambil langsung dari APBN. Cara seperti ini adalah salah karena merugikan anggaran negara dan Pegawai Negeri itu sendiri;

3.  Mendapatkan pelayanan jaminan kesehatan disemua rumah sakit dari BPJS Kesehatan. Selama ini, bagi prajurit TNI dan Anggota Polisi hanya bisa berobat di rumah sakit TNI/Polri; dan jika berobat di rumah sakit lain menjadi tanggungan yang bersangkutan.

Minggu, 14 Agustus 2011

Massa Aksi KAJS

Massa Aksi KAJS Menuntut Kedilan Sosial  & Jaminan Sosial


Terus Bergerak.. Karena Diam Adalah Penghianatan






AKSI KAJS 22 JULI 2011

AKSI KAJS 22 JULI 2011






Fraksi Balkon Panja RUU BPJS

Fraksi Balkon Panja RUU BPJS


Pendanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional


Pendanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional 

Bahwa pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional adalah isu yang terus-menerus dihembuskan kepada masyarakat. Banyak pengamat, ahli ekonomi, ahli tenaga kerja, ahli kebijakan publik pun ikut mengkritisi bahwa Indonesia belum mampu dan belum saatnya mengembangkan jaminan sosial. Apakah betul begitu?

Alasan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Bukankah Jerman memulai asuransi sosialnya di tahun 1883 ketika relatif masih miskin? Inggris mengembangkan sistem jaminan sosial tahun 1911, Amerika Serikat di tahun 1935 pasca-depresi besar, dan Korea di tahun 1961 pasca-perang. Mereka berada pada kondisi sosial, ekonomi yang untuk beberapa hal bahkan lebih buruk daripada kondisi negara kita sekarang.

Lagipula SJSN ini sesungguhnya malah bisa meringankan beban keuangan Negara. Jika sebelumnya Negara merasa berat karena harus menanggung biaya pengobatan untuk 70 juta orang miskin, maka dengan prinsip kegotongroyongan dalam SJSN semua orang yang mampu akan mengiur dan terjadi subsidi silang. Dengan prinsip ini maka rakyat sendiri akan saling tolong menolong. Prinsipnya “yang kaya menolong yang miskin dan yang sehat menolong yang sakit”.

Dana SJSN akan dicukupi dari iuran/tabungan wajib setiap penduduk yang mempunyai penghasilan di atas batas tertentu. Iuran tersebut akan disesuaikan dengan besaran penghasilan dan kemampuan penduduk dalam mengiur. Sedangkan pendanaan dari Negara (APBN/APBD) hanya berbentuk bantuan iuran bagi yang miskin atau yang tidak mampu, sampai dia mampu maka dia pun wajib mengiur. 

Prinsipnya semua penduduk mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Wajib mengiur dan hak mendapatkan pelayanan atas jaminan sosial yang sama tanpa memandang kaya, miskin, ataupun golongan pekerjaannya.
Selama ini Indonesia sangat terbelakang dalam penyediaan jaminan sosial terhadap rakyatnya. Negara-negara maju yang rata-rata menghabiskan 7,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk belanja kesehatan. Negara berpendapatan menengah rata rata 5,8 persen PDB, dan rata-rata belanja kesehatan negara miskin yang menghabiskan 4,7 persen PDB. 

Ironisnya, Indonesia hanya mengeluarkan 2,5 persen PDB, jauh lebih rendah dari rata-rata negara miskin di dunia!Ketertinggalan Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Akan tetapi karena kekeliruan faham banyak pejabat dan ahli Indonesia yang memahami bahwa jaminan sosial adalah program membantu rakyat miskin, memberikan sedekah/karitas, atau membantu kaum duafa yang sifatnya temporer, maka upaya sistematik untuk seluruh penduduk (cakupan universal) tidak berkembang.

Artinya program jaminan sosial yang ada tidak berazaskan keadilan sosial karena tidak merata bagi seluruh penduduk. Hanya orang-orang yang sangat miskin yang dijamin dengan Jamkesmas, sedangkan orang-orang yang setengah miskin atau dia bakal miskin ketika sakit tidak memperoleh jaminan kesehatan.

Jaminan sosial bagi seluruh rakyat seumur hidup adalah hakikat sebuah negara dan hak seluruh rakyat. Untuk hidup lebih bermartabat, jaminan sosial adalah jawaban. Ingat, tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial. (riz)

 Sumber : TURC
Foto : Maxie Elia Kalangi

BUMN vs Wali Amanat


BUMN vs Wali Amanat
 
Nasib rakyat selalu saja bagaikan mainan dan ajang saling rebut kepentingan bagi beberapa pihak. Karena ini persoalan uang yang tidak sedikit, tidak heran banyak halang dan rintangan yang harus dilalui demi mewujudkan jaminan sosial bagi rakyat. Padahal tenggat waktu yang ditetapkan untuk mempersiapkan segala sesuatu demi menyelenggarakan UU SJSN ini adalah lima tahun sejak disahkan, artinya tanggal 19 Oktober 2009, pemerintah Presiden SBY masih enggan sungguh melaksanakannya. Ada apa? 

BUMN vs Wali Amanat

Penyebab utama mengapa UU SJSN ini belum terlaksana dikarenakan belum ada kata sepakat soal badan hukum penyelenggara jaminan sosial ini nantinya. Sesuai dengan UU SJSN dana yang terkumpul akan dikelola sebagai “dana amanat” atau dana titipan, di mana kepentingan peserta (yang menitipkan dananya) harus menjadi prioritas. Untuk melola dana amanah ini, badan hukumnya adalah “wali amanat”, di mana perwakilan pihak kepentingan terwakili di dalamnya, bukan semata komisaris yang dipilih pemerintah.

Sebagian pihak seperti Menteri Negara BUMN tetap tidak rela melepas penyelenggara jaminan sosial yang selama ini berjalan seperti PT Jamsostek, PT Asabri, PT Askes, dan PT Taspen menjadi badan wali amanah, dan harus tetap sebagai BUMN berbentuk PT (perseroan terbatas). Dengan bentuk PT, maka kekuasaan tertinggi – juga penikmat utama dari “keuntungan”, adalah komisaris, yang terdiri dari beberapa orang pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah untuk legitimasi.

Usulan agar dijadikan BUMN dalam bentuk “Perusahaan Umum” (Perum) juga kurang tepat. Perum adalah untuk melola usaha-usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, perkereta-apian, bahan bakar minyak dan pertambangan, seperti diamanatkan pasal 33 UUD 1945.

Seperti disampaikan Abdul Ghafur, aktifis Prakarsa (salah satu lembaga yang mengajukan RUU BPJS alternatif), “Apabila kita cermatI ketentuan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dengan UU SJSN, sangat jelas terdapat perbedaan mendasar antara badan hukum BUMN, Perseroan Terbatas dengan badan hukum BPJS yang dikehendaki oleh UU SJSN.”

Berbeda dengan BUMN, penyelenggaraan sistem jaminan sosial tidak tunduk pada Pasal 33 UUD 1945, melainkan pada Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Jaminan sosial adalah program negara untuk perlindungan dasar bagi seluruh warga negara guna mencegah kemiskinan dalam jangka pendek dan reduksi kemiskinan dalam jangka panjang. Dengan sendirinya, BPJS tunduk pada Pasal 5 Ayat 1 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai pelaksanaan dari Pasal-pasal 28H dan 34 UUD 1945.

Secara sederhana badan hukum wali amanat adalah badan independen yang difasilitasi Pemerintah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang berbasis kontribusi dari peserta. Guna mengelola dana amanah secara obyektif, pengawasan dilakukan oleh peserta itu sendiri melalui wadah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang bersifat tripartit.

Pasal 4 UU SJSN perihal prinsip-prinsip SJSN menegaskan bentuk badan hukum BPJS merupakan badan hukum wali amanat atau badan hukum nirlaba yang memiliki kekuatan hukum tetap. BUMN Perum/Persero masuk dalam kategori badan hukum yang berorientasi pada laba bukan nirlaba.

“Badan hukum wali amanat adalah not for profit atau tidak bertujuan untuk mencari laba bagi pemegang saham. Tetapi surplus ekonomi wajib ada untuk pengembangan dana yang digunakan seluruhnya untuk memberikan manfaat kepada peserta,” jelas Abdul Ghafur lagi. Di beberapa Negara, seperti Singapura dan Malaysia misalnya, serikat buruh melalui tabungan pensiun bahkan bisa menjadi investor yang bisa membantu pemerintahnya di saat krisis.

Dalam banyak kesempatan, Menneg BUMN dan Komisaris Utama PT (Persero) Jamsostek mempertahankan keinginannya agar keempat BPJS yang sudah tetap menjadi BUMN, dengan argumen bahwa badan hukum PT merupakan badan hukum yang telah teruji kinerjanya. Faktanya lebih dari dua pertiga BUMN mempunyai kinerja yang lebih jelek dari banyak PT milik swasta dalam bidangnya.

Cakupan pegawai swasta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) di Jamsostek, misalnya, hanya sekitar 7,7 juta orang dari total pekerja di sektor formal yang mencapai 36 juta orang (ILO, 2008). Artinya, hanya seperempat pekerja di sektor formal, yang memiliki kontrak tertulis hubungan kerja, yang aktif menjadi peserta Jamsostek. Padahal, di Filipina dan Thailand, seluruh pekerja di sektor formal menjadi peserta aktif, mengiur dengan rutin. Setelah 15 tahun PT Jamsostek berjalan, hanya 1,3 juta pekerja yang terdaftar, yang berarti kurang dari 5% dari seluruh buruh formal.

Bisa dikatakan bahwa manajemen jamsostek yang berjalan selama ini tidak mampu meyakinkan pengusaha untuk mengikutsertakan buruhnya dalam kepesertaan jamsostek. Ditambah lagi ciri pengusaha Indonesia yang tidak patuh hukum. Akibatnya buruh juga yang jadi korban tanpa ada jaminan sosial.

Selain itu, jika ingin tetap bertahan pada sistem jaminan sosial yang lama, lalu bagaimana dengan nasib jaminan sosial bagi buruh informal, buruh yang bekerja di luar negeri (TKI), pedagang kecil, usia lanjut, dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya yang bukan termasuk kedalam pegawai negeri ataupun buruh formal? Tidakkah mereka juga punya hak yang sama? SJSN bisa jadi jawabannya, karena prinsip SJSN adalah jaminan sosial untuk seluruh rakyat dan seumur hidup.

Sumber : Turc 
foto : republika.co.id

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes