Pendanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional
Bahwa pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional adalah isu yang terus-menerus dihembuskan kepada masyarakat. Banyak pengamat, ahli ekonomi, ahli tenaga kerja, ahli kebijakan publik pun ikut mengkritisi bahwa Indonesia belum mampu dan belum saatnya mengembangkan jaminan sosial. Apakah betul begitu?
Alasan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Bukankah Jerman memulai asuransi sosialnya di tahun 1883 ketika relatif masih miskin? Inggris mengembangkan sistem jaminan sosial tahun 1911, Amerika Serikat di tahun 1935 pasca-depresi besar, dan Korea di tahun 1961 pasca-perang. Mereka berada pada kondisi sosial, ekonomi yang untuk beberapa hal bahkan lebih buruk daripada kondisi negara kita sekarang.
Lagipula SJSN ini sesungguhnya malah bisa meringankan beban keuangan Negara. Jika sebelumnya Negara merasa berat karena harus menanggung biaya pengobatan untuk 70 juta orang miskin, maka dengan prinsip kegotongroyongan dalam SJSN semua orang yang mampu akan mengiur dan terjadi subsidi silang. Dengan prinsip ini maka rakyat sendiri akan saling tolong menolong. Prinsipnya “yang kaya menolong yang miskin dan yang sehat menolong yang sakit”.
Dana SJSN akan dicukupi dari iuran/tabungan wajib setiap penduduk yang mempunyai penghasilan di atas batas tertentu. Iuran tersebut akan disesuaikan dengan besaran penghasilan dan kemampuan penduduk dalam mengiur. Sedangkan pendanaan dari Negara (APBN/APBD) hanya berbentuk bantuan iuran bagi yang miskin atau yang tidak mampu, sampai dia mampu maka dia pun wajib mengiur.
Prinsipnya semua penduduk mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Wajib mengiur dan hak mendapatkan pelayanan atas jaminan sosial yang sama tanpa memandang kaya, miskin, ataupun golongan pekerjaannya.
Selama ini Indonesia sangat terbelakang dalam penyediaan jaminan sosial terhadap rakyatnya. Negara-negara maju yang rata-rata menghabiskan 7,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk belanja kesehatan. Negara berpendapatan menengah rata rata 5,8 persen PDB, dan rata-rata belanja kesehatan negara miskin yang menghabiskan 4,7 persen PDB.
Ironisnya, Indonesia hanya mengeluarkan 2,5 persen PDB, jauh lebih rendah dari rata-rata negara miskin di dunia!Ketertinggalan Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Akan tetapi karena kekeliruan faham banyak pejabat dan ahli Indonesia yang memahami bahwa jaminan sosial adalah program membantu rakyat miskin, memberikan sedekah/karitas, atau membantu kaum duafa yang sifatnya temporer, maka upaya sistematik untuk seluruh penduduk (cakupan universal) tidak berkembang.
Artinya program jaminan sosial yang ada tidak berazaskan keadilan sosial karena tidak merata bagi seluruh penduduk. Hanya orang-orang yang sangat miskin yang dijamin dengan Jamkesmas, sedangkan orang-orang yang setengah miskin atau dia bakal miskin ketika sakit tidak memperoleh jaminan kesehatan.
Jaminan sosial bagi seluruh rakyat seumur hidup adalah hakikat sebuah negara dan hak seluruh rakyat. Untuk hidup lebih bermartabat, jaminan sosial adalah jawaban. Ingat, tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial. (riz)
Foto : Maxie Elia Kalangi
0 komentar:
Posting Komentar