BUMN vs Wali Amanat
Nasib rakyat selalu saja bagaikan mainan dan ajang saling rebut kepentingan bagi beberapa pihak. Karena ini persoalan uang yang tidak sedikit, tidak heran banyak halang dan rintangan yang harus dilalui demi mewujudkan jaminan sosial bagi rakyat. Padahal tenggat waktu yang ditetapkan untuk mempersiapkan segala sesuatu demi menyelenggarakan UU SJSN ini adalah lima tahun sejak disahkan, artinya tanggal 19 Oktober 2009, pemerintah Presiden SBY masih enggan sungguh melaksanakannya. Ada apa?
BUMN vs Wali Amanat
Penyebab utama mengapa UU SJSN ini belum terlaksana dikarenakan belum ada kata sepakat soal badan hukum penyelenggara jaminan sosial ini nantinya. Sesuai dengan UU SJSN dana yang terkumpul akan dikelola sebagai “dana amanat” atau dana titipan, di mana kepentingan peserta (yang menitipkan dananya) harus menjadi prioritas. Untuk melola dana amanah ini, badan hukumnya adalah “wali amanat”, di mana perwakilan pihak kepentingan terwakili di dalamnya, bukan semata komisaris yang dipilih pemerintah.
Sebagian pihak seperti Menteri Negara BUMN tetap tidak rela melepas penyelenggara jaminan sosial yang selama ini berjalan seperti PT Jamsostek, PT Asabri, PT Askes, dan PT Taspen menjadi badan wali amanah, dan harus tetap sebagai BUMN berbentuk PT (perseroan terbatas). Dengan bentuk PT, maka kekuasaan tertinggi – juga penikmat utama dari “keuntungan”, adalah komisaris, yang terdiri dari beberapa orang pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah untuk legitimasi.
Usulan agar dijadikan BUMN dalam bentuk “Perusahaan Umum” (Perum) juga kurang tepat. Perum adalah untuk melola usaha-usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, perkereta-apian, bahan bakar minyak dan pertambangan, seperti diamanatkan pasal 33 UUD 1945.
Seperti disampaikan Abdul Ghafur, aktifis Prakarsa (salah satu lembaga yang mengajukan RUU BPJS alternatif), “Apabila kita cermatI ketentuan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dengan UU SJSN, sangat jelas terdapat perbedaan mendasar antara badan hukum BUMN, Perseroan Terbatas dengan badan hukum BPJS yang dikehendaki oleh UU SJSN.”
Berbeda dengan BUMN, penyelenggaraan sistem jaminan sosial tidak tunduk pada Pasal 33 UUD 1945, melainkan pada Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Jaminan sosial adalah program negara untuk perlindungan dasar bagi seluruh warga negara guna mencegah kemiskinan dalam jangka pendek dan reduksi kemiskinan dalam jangka panjang. Dengan sendirinya, BPJS tunduk pada Pasal 5 Ayat 1 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai pelaksanaan dari Pasal-pasal 28H dan 34 UUD 1945.
Secara sederhana badan hukum wali amanat adalah badan independen yang difasilitasi Pemerintah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang berbasis kontribusi dari peserta. Guna mengelola dana amanah secara obyektif, pengawasan dilakukan oleh peserta itu sendiri melalui wadah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang bersifat tripartit.
Pasal 4 UU SJSN perihal prinsip-prinsip SJSN menegaskan bentuk badan hukum BPJS merupakan badan hukum wali amanat atau badan hukum nirlaba yang memiliki kekuatan hukum tetap. BUMN Perum/Persero masuk dalam kategori badan hukum yang berorientasi pada laba bukan nirlaba.
“Badan hukum wali amanat adalah not for profit atau tidak bertujuan untuk mencari laba bagi pemegang saham. Tetapi surplus ekonomi wajib ada untuk pengembangan dana yang digunakan seluruhnya untuk memberikan manfaat kepada peserta,” jelas Abdul Ghafur lagi. Di beberapa Negara, seperti Singapura dan Malaysia misalnya, serikat buruh melalui tabungan pensiun bahkan bisa menjadi investor yang bisa membantu pemerintahnya di saat krisis.
Dalam banyak kesempatan, Menneg BUMN dan Komisaris Utama PT (Persero) Jamsostek mempertahankan keinginannya agar keempat BPJS yang sudah tetap menjadi BUMN, dengan argumen bahwa badan hukum PT merupakan badan hukum yang telah teruji kinerjanya. Faktanya lebih dari dua pertiga BUMN mempunyai kinerja yang lebih jelek dari banyak PT milik swasta dalam bidangnya.
Cakupan pegawai swasta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) di Jamsostek, misalnya, hanya sekitar 7,7 juta orang dari total pekerja di sektor formal yang mencapai 36 juta orang (ILO, 2008). Artinya, hanya seperempat pekerja di sektor formal, yang memiliki kontrak tertulis hubungan kerja, yang aktif menjadi peserta Jamsostek. Padahal, di Filipina dan Thailand, seluruh pekerja di sektor formal menjadi peserta aktif, mengiur dengan rutin. Setelah 15 tahun PT Jamsostek berjalan, hanya 1,3 juta pekerja yang terdaftar, yang berarti kurang dari 5% dari seluruh buruh formal.
Bisa dikatakan bahwa manajemen jamsostek yang berjalan selama ini tidak mampu meyakinkan pengusaha untuk mengikutsertakan buruhnya dalam kepesertaan jamsostek. Ditambah lagi ciri pengusaha Indonesia yang tidak patuh hukum. Akibatnya buruh juga yang jadi korban tanpa ada jaminan sosial.
Selain itu, jika ingin tetap bertahan pada sistem jaminan sosial yang lama, lalu bagaimana dengan nasib jaminan sosial bagi buruh informal, buruh yang bekerja di luar negeri (TKI), pedagang kecil, usia lanjut, dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya yang bukan termasuk kedalam pegawai negeri ataupun buruh formal? Tidakkah mereka juga punya hak yang sama? SJSN bisa jadi jawabannya, karena prinsip SJSN adalah jaminan sosial untuk seluruh rakyat dan seumur hidup.
Sumber : Turc
foto : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar