Senin, 15 Agustus 2011

Iuran Jaminan Sosial

Iuran Jaminan Sosial

Kalo penjelasan Sulastomo, Ketua Tim SJSN perancang UU SJSN:

1. Mengapa harus iur?

Setiap penyelenggaraan program Jaminan Sosial, sudah tentu memerlukan biaya. Cara-cara pembiayaan itu, tidak terlepas dari cita-cita buat apa negara itu didirikan. Bagi Indonesia, sesuai dengan falsafah berbangsa dan bernegara kita, di mana “kebersamaan/gotong royong” mendasari segala kehidupan kita, biaya program jaminan sosial (iuran) melalui mekanisme asuransi sosial (bukan asuransi komersial) adalah yang paling tepat. Sebab, dalam mekanisme asuransi sosial, kegotongroyongan itu sangat lengkap.

Dalam penyelenggaraan program “Jaminan Kesehatan” misalnya ada kegotongroyongan antara: yang kaya dan yang miskin, yang sehat dan yang sakit, yang tua dan yang muda, juga yang risiko sakit tinggi dan yang rendah. Kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan juga tidak memerlukan pemeriksaan kesehatan pendahuluan, sehingga juga sangat “manusiawi”.

2. Sekali lagi: tentang iur biaya?

Salah satu ciri penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan dalam SJSN adalah bahwa Jaminan Kesehatan diselenggarakan dengan mengintrodusir “managed healthcare concept” (konsep pelayanan kesehatan terkelola). Hal ini diperlukan, agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan  dapat terselenggara  dengan efisien, mencegah “over-utilization” (pemanfaatan yang berlebih) dan juga “unnecessary utilization” (pemanfaatan yang tidak perlu), sesuai dengan prinsip-prinsip “kendali mutu dan biaya” yang diharapkan.

Iur biaya bagi yang menggunakan pelayanan kesehatan (“user fee”), sebagai salah satu elemen dalam konsep “managed healthcare concept” diperlukan agar pelayanan kesehatan diberikan sesuai dengan  kebutuhan medik (“medical needs”) dan bukan semata keinginan (“demands”) pasien, yang sering membuka peluang “over-utilization”, “unnecessary utilization” dan bahkan “abuse” (penyalahgunaan), sebab konsumen kesehatan (pasien) sebenarnya adalah tidak tahu (“ignorant”) berapa harus membayar.

Meskipun demikian, perlu ditegaskan bahwa iur biaya itu tidak boleh menghalangi pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mediknya. Kemampuan ekonomi tidak boleh menjadi penghalang untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini akan diatur dalam “delivery system” (sistem penyediaan) Jaminan Kesehatan yang akan ditetapkan kemudian.

Adanya “iur biaya” juga lebih mewujudkan keadilan dengan peserta lain yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan, dan juga dapat bersifat edukasi untuk upaya pencegahan penyakit. Banyak studi telah memperkuat teori ini. Selain itu dengan “managed healthcare concept” orientasi pelayanan kesehatan menjadi “pencegahan” (“preventive”) dan bukan “pengobatan” (“curative”).

Catatan saya:

Sesungguhnya antara pendukung maupun pengkritik SJSN sama-sama menginginkan terwujudnya jaminan sosial bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Yang menjadi perdebatan adalah darimana sumber pendanaannya diperoleh. SJSN menganut sumber pendanaan melalui iuran, di mana yang mampu mengiur dan yang tidak mampu iurannya ditanggung oleh Negara melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Para pengkritik menuntut sumbernya dari pajak yang sudah disetorkan rakyat sekian lama.

Para pengkritik SJSN ada benarnya di sini, seandainya seluruhnya pembiayaan memang bisa ditanggung oleh pajak tentu itu akan efektif sekali, karena akan lebih jelas dan pasti sumber maupun pengelolaannya. Namun mereka yang mendukung SJSN juga punya kebenaran dengan bertanya apa yang bisa dilakukan untuk sungguh mewujudkan pajak sebagai sumber biaya jaminan sosial? Alat apa yang tersedia saat ini untuk melakukan itu? Bahkan dengan mekanisme yang “patungan” seperti SJSN pun resistensi pemerintah sudah begitu kuatnya, apalagi dengan mengambilnya dari pajak? (lihat catatan soal kaitan biaya jaminan sosial dengan APBN yg ditolak habis2an oleh Pemerintah).

Jaminan sosial juga bukan hanya soal jaminan kesehatan, ia juga mencakup jaminan pensiun, yang memang mensyaratkan adanya partisipasi peserta melalui iuran. Jaminan kesehatan bagi buruh formal saat ini pun diperoleh melalui iuran, yang selama ini dibayarkan oleh majikan. Tetapi jaminan kesehatan ini pun ikut hilang ketika ia kehilangan pekerjaan (misal karena di-PHK, pensiun, atau ingin mengurus keluarga)!

SJSN menginginkan agar jaminan kesehatan tidak hilang juga ketika seseorang tidak lagi dalam hubungan kerja lagi. Mereka ini yang tidak cukup kaya untuk membiayai kesehatannya, tapi juga tidak cukup miskin untuk mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), harus tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan  dan tidak menjadi miskin karena sakit. Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijakan publik seperti SJSN inilah, setidaknya untuk saat ini, mekanisme yang tersedia untuk itu dan lazim dipraktekkan di berbagai Negara.

Seorang kawan buruh juga bertanya, bukankah selama ini ia juga sudah iuran (jamsostek)? Bedanya dg sekarang uang yg terkumpul di Jamsostek itu bertransformasi menjadi 'dana amanat' milik buruh bukan milik BUMN/Pemerintah spt sekarang. Dan seorang kawan buruh di DJSN menambahkan bahwa dg mekanisme iuran itu kita sebagai masyarakat bisa punya alasan kuat untuk selalu mempersoalkan penegakan konstitusi jaminan sosial ini.

(Sumber: Wawancara dg Sulastomo, 6 Agustus 2010, sudah dimuat di tabloid Lembur.)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes